Informasi, Komukasi, dan Edukasi Kriya Logam

Rabu, 04 Januari 2012

Pendidikan

PROGRAM RSBI GAGAL TOTAL
1.305 Sekolah Tidak Layak Jadi SBI

JAKARTA - Proyek besar Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mencetak sekolah bertaraf internasional (SBI) patut dipertanyakan. Betapa tidak, sejak program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) diluncurkan pada 2005, hingga kini tak ada satupun sekolah yang berhasil lolos penilaian menjadi SBI.
Berdsarkan evaluasi (Kemendikbud), seluruh RSBI di negeri ini belum layak menjadi SBI. Jumlah RSBI di seluruh Indonesia mencapai 1.305 sekolah. Terdiri atas SD, SMP, SMA, dan SMK. Ironisnya, tak satupun RSBI yang digadang-gadang menjadi SBI itu lolos dalam penilaian.
Kondisi tersebut kontras dengan strategi awal pencanangan program. Waktu itu dirumuskan bahwa sekolah berlabel RSBI hanya cukup berjalan 3 tahun untuk level SD. Artinya, setelah tiga tahun, RSBI level SD itu bisa dinilai layak atau tidak menjadi SBI. Kenyataannya, hingga 6 tahun berlalu, tidak ada SD yang layak menjadi SBI. Penilaian untuk level SMP adalah 4 tahun dan SMA dan SMK lima tahun. Semua pun gagal total. Mengapa?
PLT dIrjen Pendidikan Dasar (Dikdas) Kemendikbud Suyanto menjelaskan, salah satu faktor utama kegagalan itu adalah sumber daya manusia (SDM). Yakni minimnya komposisi guru berjenjang strata dua (S-2) di sekolah-sekolah RSBI tersebut. Padahal, itu merupakan salah satu syarat utama untuk menjadi SBI.
Untuk level SD, jika ingin naik tingkat menjadi SBI, sebuah RSBI harus memiliki minimal 10% guru s-2. Syarat untuk SMP, SMA dan SMK lebih berat. SMP RSBI, misalnya harus memiliki 20% guru S-2. Untuk SMA dan SMK, syarat itu ditingkatkan menjadi 30%.
Faktanya, tidak ada RSBI yang berhasil memenuhi ketentuan tersebut. "Ketentuan komposisi itu masih belum terwujud di RSBI manapun," ungkap Suyanto di Jakarta (03/01/2012). Hampir di seluruh RSBI di negeri ini, pendidik yang tamatan S-2 hanya kepala sekolah.
Tidak berkembangnya jumlah guru bergelar magister di RSBI itu disoroti Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI). Ketua umum PB PGRI Sulistyo menilai, hal tersebut adalah aneh. "Padahal, kementrerian (Kemendikbud) memiliki program bantuan peningkatan kualifikasi pendidikan," ujarnya.
Ternyata uang untuk program tersebut tidak terserap optimal."Mendikbud mengatakan serapan bantuan masih 50 persen.
Minimnya serapan bantuan disebabkan amburadulnya data guru, baik yang bersedia meneken kontrak untuk kuliah S-2 maupun yang sedang menempuh pendidikan S-2.
Ditengah amburadulnya program RSBI, sempat muncul desakan untuk mengubah lagi program itu menjadi SSN (sekolah standar nasional). Usul tersebut semakin kuat ketika cap RSBI di masyarakat sebagai sekolah berbiaya mahal kian melekat.
Menanggapi fenomena tersebut, Suyanto menilai kurang bijak. Menurut dia, lebih baik mendampingi RSBI yang sudah ada saat ini. "Kita dampingi dan kita dorong terus untuk bisa menjadi SBI." Tegasnya.
Dia menyatakan, sementara ini RSBI bisa menghemat pengeluaran devisa negara. Sebab, RSBI bisa menekan orang-orang untuk menyekolahkan anaknya keluar negeri.
Upaya pemerintah saat ini adalah berfokus untuk meningkatkan kualitas RSBI. Diantaranya menggenjot kualifikasi para pendidik. Karena itu Kemendikbud menyetop sementara atau menjalankan kebijakan moratorium usul RSBI baru.
Terkait dengan tudingan bahwa RSBI mahal, Suyanto tidak membantah. Namun, hal itu tidak terjadi di semua RSBI. "RSBI yang mahal itu hanya di Jakarta," ujarnya.
Dia mengungkapkan, ada daerah-daerah yang menjalankan program RSBI dengan baik. "Contohnya, Surabaya. Ada aturan yang menggratiskan siswa miskin untuk belajr di RSBI." Tuturnya.
Suyanto optimis program RSBI akan sukses menelurkan SBI. Sebab, hal itu merupakan amanat pasal 50 ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalm regulasi tersebut dinyakan, pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan di semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. "Kami tidak ingin SBI nanti hanya gagah-gagahan." ucap Suyanto.
Sementara itu, pengamat pendidikan Darmaningtyas menyatakan, kendala utama RSBI adalah memang faktor guru. Standadisasi kurikulum atau kinerja yang lebih seperti yang diberlakukan di RSBI tidak bisa diharapkan dari guru-guru lama. "Guru-guru yang sama (sebelum sekolah berstatus RSBI) tentu tidak bisa menjalankan standar yang beda (RSBI)."
Jika ingin membentuk SBI, pemerintah harus merekrut guru-guru secara khusus dengan standar yang khusus pula.
Darmaningtyas sejatinya menolak program SBI. Penulis buku Pendidikan Rusak-rusakan itu sudah melayangkan gugatan terhadap aturan yang melandasi pendirian SBI ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut masuk ke MK pada 28 Desember lalu.
Menurut dia, pasal yang mengharuskan pemerintah menyediakan sekolah bertaraf internasional tersebut tidak perlu ada. Karena itu, pemerintah pusat, daerah, hingga kepala sekolah tidak perlu repot-repot mengejar standar internasional. "Standar internasional itu seperti apa? Sifatnya mengawang-awang." Tuturnya. "Perlu saya tekankan setiap negar itu memiliki standar yang berbeda-beda," tegasnya. Jepang, misalnya memiliki sistem atau standar pendidikan yang tidak perlu mengekor negara lain. Begitu pula dengan Inggris, AS, maupun Australia yang tidak pernah mengekor standar pendidikan negara lain.
Darmaningtyas berpendapat, yang harus dilakukan pemerintah adalah menguatkan sistem pendidikan nasional. Proyek RSBI dan SBI sesungguhnya malah mengaburkan kekuatan sistem pendidikan nasional. Dia sangat mendukung penghentian usul pembentukan RSBI-RSBI baru.
Dia berharap pemerintah menghentikan obsesi pembentukan SBI. Apalagi, kesan RSBI sebagai sekolah mahal begitu kuat di masyarakat. Jika saat masih RSBI saja sudah mahal, ketika ditetapkan menjadi SBI, biayanya bisa kian melangit. Jawa Pos. Rabu 4 Januari 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar